Laksamana Cheng Ho atau Admiral Zheng He, perjalanan hidup
sang laksamana ini sejak lahir sekitar tahun 1370 Masehi hingga wafat di tahun
1432. Cheng Ho yang nama aslinya adalah Ma He – dalam Bahasa Arab adalah
Muhammad Siddiq – lahir dari keluarga Cina Muslim kebanyakan di Provinsi
Yunnan, dekat perbatasan Vietnam sekarang ini. "Cheng Ho juga dikenal
sebagai San Bao yang berarti `tiga mutiara'. Ayahnya yang bernama Ma Hazi atau
Haji Ma adalah pemuka sebuah kampung. Dalam situasi yang bergolak Ma Hazi didaulat
oleh penduduk sekitar untuk memimpin perlawanan terhadap Kaisar Ming yang
kedua, dan beliau tewas dalam sebuah pertempuran
. Ma He kecil, sangat sedih
dengan kematian ayahnya dan sangat prihatin dengan ibu dan dua adik
perempuannya yang ditawan dan akan dibunuh. Sebab itulah, dia merelakan dirinya
untuk dikebiri, dengan imbalan ibu dan dua adiknya dibebaskan. Jendral Poh Yu
Te yang memimpin pasukan Ming di Yunan, memenuhi permintaan Ma He. Dia dikebiri
dan harus ikut menjadi abdi dalem istana. Ibu dan adik-adiknya dibebaskan. Ma
He yang taat menjalankan agama Islam dikenal sebagai kasim – sebutan bagi orang
yang dikebiri – yang sangat rajin belajar dan berdisiplin tinggi.
Berbeda
dengan ayahnya yang berperang melawan Ming, Ma He ikut milisi untuk membela
Ming. Karena prestasinya, dia diangkat menjadi pembantu terdekat Pangeran Ming
Chui Ti, dan pindah ke sebuah puri – yang belakangan menjadi Kota Terlarang –
di kota Beijing. Sejarawan China menyebutkan Ma He sering datang ke Mesjid Niuw
Che, mesjid tertua di Beijing yang dibangun oleh dua imam dari Persia yang
menyebarkan agama Islam ke China pada abad ke IX Masehi. Mesjid Niew Che yang
masih ada sampai sekarang dan menjadi mesjid antik bergaya kelenteng adalah
mesjid yang dilindungi oleh Pemerintah China, dan dijadikan sebagai monumen
Islam di Negeri Tiongkok.
Di Beijing Cheng Ho akhirnya menjadi penasehat
Pangeran Ming Chui Ti yang suatu ketika menjadi sangat marah, karena ayahnya
menunjuk cucunya –yakni putra dari pangeran pertama yang wafat — menjadi kaisar.
Ming Chui Ti adalah pangeran kedua yang menurut tradisi China akan menjadi
kaisar jika pangeran pertama meninggal lebih dahulu. Kaisar baru, Chu Yu Wen,
yang masih muda, ternyata banyak melakukan kekejaman, yang membuat
Pangeran Ming Chui Ti tambah marah, sehingga akhirnya dia
memberontak melawan Kaisar. Dia menunjuk Ma He sebagai panglima perang dan
mempimpin penyerbuan dari Beijing ke Nanjing yang ketika itu menjadi ibukota
Kekaisaran Ming.
Menurut sejarawan China, jarak antara Beijing dengan Nanjing
waktu itu dapat ditempuh dengan kuda yang berlari kencang selama 23 hari
perjalanan. Dalam sejarahnya, Ma He memimpin 30 ribu pasukan menggempur Beijing
selama tiga tahun, sampai akhirnya mereka memenangkan pertempuran. Pangeran
Ming Chui Ti akhirnya berhasil merebut tahta. Dalam sejarah China, Ming Chui Ti
dikenal dengan julukan Kaisar Yong Le atau Yung Lo, yakni kaisar terbesar dalam
sejarah China. Ma He yang kemudian diberi marga baru Zheng atau Cheng– yang
akhirnya memakai nama Zheng He atau Cheng Ho – praktis menjadi orang kedua di
kekaisaran Ming. Ketika ibukota Ming pindah dari Nanjing ke Beijing dan
membangun Forbidden City sekarang ini, maka Kaisar Yong Le mengendalikan
pemerintahan dari Beijing dan Cheng Ho mengendalikan pemerintahan dari Najing
sebagai wakil Kaisar. Peristiwa ini terjadi menjelang akhir hayat Kaisar Yong
Le, setelah Cheng Ho kembali dari pelayaran yang ketujuh menjelajahi pantai
timur benua Afrika.
Di tahun 1930-an, kisah kehebatan seorang laksamana laut asal Tiongkok tersebut pada abad ke-15 mulai terkuak. Enam tahun lamanya Cheng Ho membangun 320 armada dan merekrut 28.000 prajurit angkatan laut dan melatih mereka. Setelah semuanya siap, sebelum berlayar, Cheng Ho sengaja datang berziarah ke makam Saad bin Abi Waqqash – salah seorang sahabat Nabi Muhammad S.a.w yang ikut ke hijrah ke Negeri Habsyi dan wafat di Tiongkok — di Guang Zhou. Cheng Ho mungkin ingin mengenang sahabat Rasulullah itu karena beliau adalah salah seorang sahabat dekat Rasulullah yang berlayar begitu jauh dari Habsyi – Ethiopia sekarang ini – menuju daratan Tiongkok.
Di tahun 1930-an, kisah kehebatan seorang laksamana laut asal Tiongkok tersebut pada abad ke-15 mulai terkuak. Enam tahun lamanya Cheng Ho membangun 320 armada dan merekrut 28.000 prajurit angkatan laut dan melatih mereka. Setelah semuanya siap, sebelum berlayar, Cheng Ho sengaja datang berziarah ke makam Saad bin Abi Waqqash – salah seorang sahabat Nabi Muhammad S.a.w yang ikut ke hijrah ke Negeri Habsyi dan wafat di Tiongkok — di Guang Zhou. Cheng Ho mungkin ingin mengenang sahabat Rasulullah itu karena beliau adalah salah seorang sahabat dekat Rasulullah yang berlayar begitu jauh dari Habsyi – Ethiopia sekarang ini – menuju daratan Tiongkok.
Peristiwa itu terjadi sebelum Rasulullah hijrah ke
Madinah. Kisah tentang Saad bin Abi Waqqash ini mengindikasikan bahwa Islam
telah disebarkan di Tiongkok pada saat Rasulullah S.a.w masih hidup. Walaupun
makam Saad sampai sekarang masih misterius. Sebagian sejarawan mengatakan Saad
kembali bergabung dengan Rasulullah di Madinah, namun sebagiannya lagi
mengatakan tidak. Saad tak sempat ikut hijrah ke Madinah, sampai beliau wafat
tetap berada di Guang Zhou. Dalam sejarahnya, Laksamana Cheng Ho memimpin
delapan kali missi muhibah pelayaran mengunjungi banyak negara di zaman itu.
Dia sama sekali tak ingin menggunakan kekuatan militer untuk memaksa negara
lain mengikuti kemauannya.
Cheng Ho bersikap persuasif mengajak negara-negara
lain untuk menyelesaikan konflik secara damai. Dia berusaha mendamaikan antara
Majapahit dengan Blambangan, antara Ayuttaya dengan Swarnabhumi, antara
Majapahit dengan Melaka dan membantu banyak negara dengan bantuan teknis militer,
perdagangan, industri, pertanian dan kesehatan. Cheng Ho juga membawa misi
mengamankan laut, khususnya Selat Malaka, agar alur pelayaran timur dan barat
dapat berjalan dengan lancar. Untuk itulah dia membantu Melaka membangun
pangkalan angkatan laut, melatih militer Melaka dan menampatkan sekitar 600
penasehat militer di Bandar Melaka.
Cheng Ho berhasil meyakinkan Melaka, bahwa
Dinasti Ming dari Tiongkok takkan mengulangi ekspansi dan penjajahan – seperti
pernah dilakukan Dinasti Yuan – yang pernah memaksa Ken Arok dari Kerajaan
Kediri agar takluk kepada Tiongkok. Cheng Ho ingin membangun kemitraan dan
kerjasama dengan negara lain, dengan tetap menghormati kedaulatan negara itu.
Adalah batu prasasti di sebuah kota di Provinsi Fujian, Cina yang bersaksi dan
mengisahkan jejak perjalanan dan petualangan seorang pelaut andal dan tangguh
bernama Cheng Ho atau Zheng He. Catatan perjalanan dan penjelajahan yang luar
biasa hebatnya itu tak hanya memiliki arti penting bagi bangsa Cina. Jejak
hidup Laksamana Cheng Ho juga begitu berarti bagi umat Islam dan bangsa
Indonesia. Seperti halnya, petualang hebat dari Maroko, Ibnu Battuta, Cheng Ho
pernah singgah di Nusantara dalam ekspedisinya. Matt Rosenberg, seorang ahli
geografi terkemuka dunia mengungkapkan, ekspedisi laut yang dipimpin Cheng Ho
telah dilakukan 87 tahun sebelum penjelajah kebanggaan Barat, Christopher
Columbus, mengarungi luasnya samudera biru. Tak hanya itu, ekspedisi arung
samudera yang dilakukan Cheng Ho juga jauh lebih awal dari penjelajah asal
Portugis, Vasco da Gama dan petualang asal Spanyol, Ferdinand Magellan.
Petualangan antarbenua yang dipimpin Cheng Ho selama 28 tahun (1405 M -1433 M)
itu berlangsung dalam tujuh kali pelayaran. Menurut Rosenberg, tak kurang dari
30 negara di benua Asia dan Afrika disinggahi Cheng Ho. Jarak tempuh ekspedisi
yang dipimpin Cheng Ho beserta pengikutnya mencapai 35 ribu mil. Di luar missi
resmi yang diemban atas perintah Kaisar, Cheng Ho dan nakhoda kapal induknya
Wang Ching Hong – yang makamnya ada di Semarang dan dikenal dengan sebutan
Panembahan Dompu Awang atau Kiyai Jurumudi – membawa misi pribadi mereka untuk
menyebarkan agama Islam. Raja Parameswara dari Melaka adalah raja Melaka
pertama yang memeluk agama Islam atas ajakan Laksamana Cheng Ho. Sejak itu Parameswara
mengganti namanya menjadi Sultan Iskandar Syah dan mengubah Melaka dari
kerajaan Hindu menjadi kesultanan Islam. Wang Ching Hong setelah pelayaran
ketujuh memutuskan untuk tinggal di Semarang dan pensiun sebagai nakhoda. Wang
Ching Hong yang hafal Qur’an dan pandai berbahasa Arab dan Persia, bergabung
dengan Sunan Bonang menyebarkan agama Islam di Jawa Tengah, sampai ia wafat dan
dimakamkan di tempat yang kemudian berdiri Kelenteng Sam Po Kong di kota
Semarang.
Sebuah ekspedisi yang benar-benar dahsyat. Dalam setiap ekspedisi itu, secara khusus Cheng Ho menumpangi 'kapal pusaka'. Sebuah kapal terbesar pada abad ke-15 M. Betapa tidak, panjangnya saja mencapai 138 meter dan lebarnya sekitar 56 meter. Ukuran kapal yang digunakan Cheng Ho untuk menjelajah samudera itu lima kali lebih besar dibanding kapal Columbus. Menurut sejarawan, JV Mills kapasitas `kapal pusaka' itu mencapai 2.500 ton. Pencapaian gemilang Cheng Ho melalui ekspedisi lautnya pada abad ke-15 M menunjukkan betapa peradaban Cina telah memiliki kapal-kapal besar serta kemampuan navigasi untuk menjelajahi dunia. Anehnya, keberhasilan yang dicapai Cheng Ho itu tak diikuti dengan ekspedisi berikutnya.Laksamana Cheng Ho wafat sekembalinya dari menunaikan ibadah umroh di kota suci Mekkah. Cheng Ho wafat di Lautan Hindia di selatan Pulau Sri Lanka pada tahun 1432. Sebelum wafat dia berpesan, agar kalau dia mati, jenazahnya harus ditenggelamkan ke dasar laut sebelum matahari terbenam. Karena sakit Cheng Ho akhirnya wafat dengan tasbih yang jatuh dari tangannya dengan mengucapkan kata La Ilaha illallah. Semua orang menangisi kepergiannya. Hidupnya bagai sebuah legenda. Namun menurut sejarawan China, tak ada anak buah Cheng Ho yang berani membenamkan jenazahnya ke dasar laut seperti permintaannya. Jenazahnya dibawa pulang ke Nanjing dan dia dimakamkan di depan sebuah mesjid dengan sebuah upacara kebesaran militer yang dihadiri oleh Kaisar Ming yang baru yang menggantikan Kaisar Yong Le.